![]() |
(Ditulis: Kamis, 11 November 2015) |
Tradisi
menulis dalam dunia pesantren tentunya sudah tidak asing lagi, dimulai dari
kebiasaan-kebiasaan santri seperti mencatat keterangn saat mengaji, ketika
diskusi, atau memang menulis kitab yang akan dikajinya untuk di maknai(1).
Dalam proses belajar seorang santri tidak dapat terlepas dengan yang namanya
pena. Sampai ada pena yang dapat dikatakan menjadi ciri khas pondok pesantren zaman
dulu yang biasa disebut dengan pena tutul atau pena tradisional. Pena
tradisional ini adalah pena yang terbuat dari alumunium, berujung runcing
dengan tinta terpisah. Tinta yang berbentuk batang dicairkan terlebih dahulu
sebelum digunakan dengan cara digosok. Cara penggunaannya dengan menutulkan
ujung pena keguci tinta sehingga disebut sebagai “Pena Tutul”. Namun dimasa
sekarang memaknai atau menulis dengan pena tradisional ini sudah tergolong
langka, karena tergantikan dengan pena makna yang lebih instan yakni Hi-tech.
Santri
yang menuntut ilmu itu diibaratkan seperti pena tutul, untuk mendapatkan
tulisan yang bagus kadar kekentalan tinta itu sangatlah penting. Menulis dengan
pena tradisional ini juga dibutuhkan ketlatenan karena harus menutulkan ujung
pena ke tinta berulang kali. Namun tidak diragukan lagi selain hasil tulisan
yang bercirikhas, salah satu keunikan menggunakan pena tutul ini yaitu tulisan
yang tidak muda pudar walau termakan usia. Seperti halnya santri, kadar
kekentalan niat menjadi pondasi awal dalam membangun semangat. Salah satu cara
untuk menutulkan hasil selama proses belajaran yakni dengan muroja’ah(2).
Bagi
para santri kata muraja’ah tidaklah asing lagi, dimana santri memanfaatkan
waktu sebaik mungkin untuk mengulang-ulang hafalan maupun materi yang telah
didapatkan selama pembelajaran. Sudah menjadi rahasia umum bahwa mengulang atau
pengulangan merupakan salah satu prinsip dalam belajar. Seperti yang
dikemukakan oleh Thorndike dengan teorinya yang terkenal pula yaitu “law of
exercise”
bahwa belajar ialah pembentukan hubungan
antara stimulus dan respon, dan pengulangan
terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar
timbulnya respon benar.
Setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda-beda seperti
halnya dalam menghafal serta pemahaman. Oleh sebab itu santri akan memiliki
gaya belajar dan memenejemen muraja’ah menyesuaikan dengan kemampuan masing.
Begitu juga ketika menulis menggunakan pena tutul, kemampuan mengaplikan tinta dengan
tekanan yang berbeda-beda maka akan menghasilkan gaya tulisan yang berbeda
pula. Semakin sering menutulkan ujung pena ketinta maka semakin semakin cepat
menulis, semakin ahli, dengan hasil tulisan yang cirikhas. Semakin giat
muraja’ah semakin nglotok penguasaannya (begitu bahasa santrinya).
Dalam menggunakan pena tutul bisa dikatakan harus memiliki sedikit
kemampuan yang berbeda. Karena selain ujung penanya yang sangat runcing, kita juga harus mengetahui trik dalam
penggunaannya. Dengan sedikit mencondongkan pena dalam setiap goresan dan tidak
terlalu menekan agar kertas tidak rusak. Santri juga harus seperti itu, harus
dapat mengenal serta memahami kemampuan diri sehingga memiliki trik jitu dalam
belajar. Ada yang memiliki waktu muroja’ah tengah malam karena diwaktu tersebut
sunyi, ada yang ba’da subuh, ada juga yang tidak dapat muroja’ah terlalu lama
karena memiliki kecenderungan cepat bosan sehingga cukup beberapa menit saja
namum bisa 3 kali titik murojaah dengan waktu yang berbeda-beda, dll.
Intinya niat, temen(3), lan do’a. Begitulah gambaran santri yang saya ibaratkan sebagai pena tutul, jadi kalian versi santri pena apa nih???