Sabtu, 13 Agustus 2022

SANTRI IBARAT “PENA TUTUL”

 


(Ditulis: Kamis, 11 November 2015)


Tradisi menulis dalam dunia pesantren tentunya sudah tidak asing lagi, dimulai dari kebiasaan-kebiasaan santri seperti mencatat keterangn saat mengaji, ketika diskusi, atau memang menulis kitab yang akan dikajinya untuk di maknai(1). Dalam proses belajar seorang santri tidak dapat terlepas dengan yang namanya pena. Sampai ada pena yang dapat dikatakan menjadi ciri khas pondok pesantren zaman dulu yang biasa disebut dengan pena tutul atau pena tradisional. Pena tradisional ini adalah pena yang terbuat dari alumunium, berujung runcing dengan tinta terpisah. Tinta yang berbentuk batang dicairkan terlebih dahulu sebelum digunakan dengan cara digosok. Cara penggunaannya dengan menutulkan ujung pena keguci tinta sehingga disebut sebagai “Pena Tutul”. Namun dimasa sekarang memaknai atau menulis dengan pena tradisional ini sudah tergolong langka, karena tergantikan dengan pena makna yang lebih instan yakni Hi-tech.

Santri yang menuntut ilmu itu diibaratkan seperti pena tutul, untuk mendapatkan tulisan yang bagus kadar kekentalan tinta itu sangatlah penting. Menulis dengan pena tradisional ini juga dibutuhkan ketlatenan karena harus menutulkan ujung pena ke tinta berulang kali. Namun tidak diragukan lagi selain hasil tulisan yang bercirikhas, salah satu keunikan menggunakan pena tutul ini yaitu tulisan yang tidak muda pudar walau termakan usia. Seperti halnya santri, kadar kekentalan niat menjadi pondasi awal dalam membangun semangat. Salah satu cara untuk menutulkan hasil selama proses belajaran yakni dengan muroja’ah(2)

Bagi para santri kata muraja’ah tidaklah asing lagi, dimana santri memanfaatkan waktu sebaik mungkin untuk mengulang-ulang hafalan maupun materi yang telah didapatkan selama pembelajaran. Sudah menjadi rahasia umum bahwa mengulang atau pengulangan merupakan salah satu prinsip dalam belajar. Seperti yang dikemukakan oleh Thorndike dengan teorinya yang terkenal pula yaitu “law of exercise” bahwa belajar ialah pembentukan hubungan antara stimulus dan respon, dan pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu memperbesar timbulnya respon benar.

Setiap individu memiliki kemampuan yang berbeda-beda seperti halnya dalam menghafal serta pemahaman. Oleh sebab itu santri akan memiliki gaya belajar dan memenejemen muraja’ah menyesuaikan dengan kemampuan masing. Begitu juga ketika menulis menggunakan pena tutul, kemampuan mengaplikan tinta dengan tekanan yang berbeda-beda maka akan menghasilkan gaya tulisan yang berbeda pula. Semakin sering menutulkan ujung pena ketinta maka semakin semakin cepat menulis, semakin ahli, dengan hasil tulisan yang cirikhas. Semakin giat muraja’ah semakin nglotok penguasaannya (begitu bahasa santrinya).

Dalam menggunakan pena tutul bisa dikatakan harus memiliki sedikit kemampuan yang berbeda. Karena selain ujung penanya yang sangat runcing,  kita juga harus mengetahui trik dalam penggunaannya. Dengan sedikit mencondongkan pena dalam setiap goresan dan tidak terlalu menekan agar kertas tidak rusak. Santri juga harus seperti itu, harus dapat mengenal serta memahami kemampuan diri sehingga memiliki trik jitu dalam belajar. Ada yang memiliki waktu muroja’ah tengah malam karena diwaktu tersebut sunyi, ada yang ba’da subuh, ada juga yang tidak dapat muroja’ah terlalu lama karena memiliki kecenderungan cepat bosan sehingga cukup beberapa menit saja namum bisa 3 kali titik murojaah dengan waktu yang berbeda-beda, dll.

Intinya niat, temen(3), lan do’a. Begitulah gambaran santri yang saya ibaratkan sebagai pena tutul, jadi kalian versi santri pena apa nih???


(1)    Memberikan arti dengan tulisan arab pegon dari kata perkata 
(2)    Kegiatan mengulang baik materi pelajaran maupun hafalan
(3)    Bersungguh-sungguh


Tidak ada komentar:

Posting Komentar